Minggu, 04 Oktober 2015

Lelaki Penggenggam Data



Tulisan ini adalah sebuah kisah yang terinsipirasi dari pejuang-pejuang data di negeri Bukit Barisan, Sumatera Barat. Semoga Allah membalas jihadmu para pejuang data. Walaupun sudah pernah ditayangi di islamedia.web.id, tetapi rasanya pingin juga ditampilin di blog sendiri, hehe.... Yang belum pernah baca, khususnya orang BPS, check it out!



Lelaki Penggenggam Data
Penulis : Wawat Smart


Islamedia  Pak Alif tertegun sejenak. Matanya tersikap penuh layu. Pikiran pria berbadan tegap ini hanya tertuju pada kuesioner lusuh yang dipegangnya sedari tadi. Jika ia mengingat cemoohan Pak Yadi pada Jodi kemarin, tentu langkahnya akan semakin tak tentu.


“Sudah pulang saja kamu! Mau ladang tebu saya dicatat kek, saya juga masih miskin.”
“Tapi Pak, ini untuk kebutuhan data sensus. Ayolah Pak! Data Bapak sangatlah berarti.”
“Kamu ini ngeyel ya kalau dibilangin orang. Saya bilang tidak ya tidak!”

Pak Alif kembali beranjak dari ingatan yang membuat kepalanya pusing. Ia mengambil tas berlabelkan sensus pertanian miliknya. Kuesioner lusuh ditangannya ia masukkan ke dalam tas bercorak kehijauan itu. Dengan sedikit keraguan, ditepiskannya perasaan yang membuat hatinya gundah. Kali ini ia harus kembali ke rumah Pak Yadi. Petani tebu itu harus ia taklukan hatinya.

“Ya, apapun yang terjadi data ini harus diperjuangkan,” bisik Pak Alif dalam terpaan angin senja.

                                                            ***
Pagi itu burung camar berbincang dengan asyiknya. Mengitari pedesaan di kawasan Bukit Barisan. Pak Alif yang sedari tadi sibuk mencermati kuesioner hasil pencacahan sensus pertanian timnya tertegun seketika. Tatapannya tertuju pada koran yang sedang tergeletak di atas meja. Baris-baris huruf pada halaman atas itu ia cermati. Ia tertegun. Menulusuri satu per satu kalimat-kalimat berita itu membuat wajah pria ini tercengang.
Data BPS bohong. Data BPS hanya rekaan. Petugas sensus hanya mengarang data itu saja dan….

Pak Alif menghela nafas. Berusaha meratapi kejanggalan media ini. Ia tahu itu tak benar. Ia tahu bagaimana kerasnya perjuangan sang pencacah lapangan. Jika media meliput bagaimana ia dan teman pencacah lainnya rela menelusuri pencacahan sampai akhir, sampai ke ujung bukit pun, mereka akan tahu susahnya perjuangan itu.

Pak Alif kembali mendesah. Ia tahu benar kualitas data instansi ini. Beberapa tahun pengabdiannya bergabung sebagai koordinator tim survey dan sensus, membuatnya bisa berkata seperti itu.

Ingatan lelaki paruh baya ini bergulir pada kerasnya pencacahan yang dilakukan timnya saat sensus penduduk 2010 kemarin. Gongongan anjing dari rumah Bu Darti, pengusiran warga yang tidak mau dicacah, bahkan gelapnya malam pernah dihadangnya untuk mendapatkan kualitas data ini.  Dan sekarang media berkata seenaknya saja. Ah, tentu hati pejuang data ini akan berguncang.

Drrr… Drrr… Drrr…. 

Ponsel Pak Alif bergetar. Sebuah pesan singkat membuat kening tuanya mengerut.

Pak Kortim ini Jodi. Bagaimana ini Pak? Pak Yadi ndak mau dicacah. Sekarang kami malah disuruh pulang sama dia. Beliau masih kukuh ndak mau didata.

                                                            ***
“Pak, kenapa kita ndak buat data fiktif aja? Kenapa mesti capek-capek mencacahnya segala. Bapak kan tahu, rumah terakhir itu sangat jauh. Letaknya pun di ujung bukit. Untuk menuju ke sana saja kita harus melewati hutan bambu yang lebat itu. Mana orang yang tinggal disana sudah sepuh. Kalau ditanya saja kadang dia ngelantur jawabnya, Pak. Dicacah atau tidak sama saja kan?” ucap Jodi dengan lugunya.

Lelaki berdarah minang itu tersenyum. Ditatapnya wajah anak buahnya itu dengan mantap.

“Kau tahu Nak. Ini bukan hanya sekedar jauh tidaknya, bukan sekedar susah tidaknya. Sekarang aku tanya padamu. Kau tahu guna data ini untuk bangsa ini? Dan… kau tahu sebab kita ada disini?” timpal Pak Alif sambil menyeka keringatnya sedari tadi.

“Kalau sebab saya disini, ya… buat nyari makan Pak, hehe,” ujar Jodi penuh canda.
“Aduh… selain itulah.”

Pak Alif menggaruk kepalanya walaupun tidak gatal.
“Kita disini sedang berjihad Jod….”
Kata-kata Pak Alif melumat wajah lugu Jodi. Raut muka kebingungan yang ditampakkan pria berwajah tirus ini membuat Pak Alif tersenyum simpul.

“Ya, kita sedang berjihad untuk mengabdi pada negeri ini. Apapun yang terjadi, data ini harus diperjuangkan. Tantangan itu memang akan selalu ada. Pengusiran dari orang lain, ketidakpercayaan media pada data ini, semuanya adalah tantangan Nak. Tapi coba bayangkan ke depan. Bayangkan dengan lebih dalam…. Semua kebijakan negeri ini kelak diproyeksikan dengan data ini. Kalau tak ada yang memperjuangkan kebenarannya, siapa lagi yang akan membenahi negeri kita, Nak?”

Jodi tertegun. Ia berusaha memikirkan kalimat Pak Alif. Semuanya memang benar. Pejuang data itu memang tidak boleh gentar untuk mendapatkan data yang benar.

Ah, ini rumah terakhir yang harus mereka cacah. Urusan dengan Pak Yadi kemarin pun alhamdulillah sudah selesai. Dan itu semua berkat kepiawaian Pak Alif. Pembicaraan interaktif yang beliau coba bangun sore itu tentu tidak akan pernah dilupakan anak muda ini. Setiap kali petani tebu itu berdalih, semakin Pak Alif cekatan. Jurus-jurus mautpun dikeluarkan. Pak Alif selalu berusaha menyelipkan kepercayaan kepada petani tebu ini. Dan dengan kesabaran, benih kepercayaan itu akhirnya membekas dalam hati sang petani. Membukakan pintu keraguan akan kegunaan sensus ini. Membukakan tabir kebimbangan petani tua yang sudah bosan dengan berbagai tipu daya dunia.

Jodi tahu, ia diam-diam mengangumi sosok pejuang data yang ada di sebelahnya ini.  Sesuatu muncul diam-diam merayap hatinya.

“Ya, apapun yang terjadi kita memang harus mengabdi, melayani, menjadi sesuatu yang berarti bagi negara ini,” ucap Jodi dalam diam.

Masih dalam senja yang sama…
Butiran kepercayaan mulai tertuah
Membekas dalam rona peluh yang terus bergulir
Merayap keraguan dalam dekapan kesabaran

Masih dalam senja yang sama…
Sebuah kata pun berujar penuh makna
Mendesir waktu para penggenggam data
La takhof, innallaha ma’anna




Tidak ada komentar:

Posting Komentar