Wah udah lama rasanya ga ngeblog. Emang saya paling males ngeblog, hehe... Tapi tak apalah :P, Demi uniku yang tercintah (cc ; Uni Novia Erwida). Tak posting janjiku publish cernak buatanku yang rilis di Ummi kemarin. Tapi kalau boleh jujur ini karya pertama ane yang posting di majalah lho. Sebelumnya belum pernah. Ciyusss dah :D. Walaupun buku antologi dan kumcer udah berceceran, tapi rasanya tembus ke majalah/atau koran itu, rasanya nyeeeesssss buanget...haha :P
Kalo ngomongin proses kreatif sampai nih cerpen tembus ke majalah Ummi wah panjang amir. Dari sejak november 2013, trus tak kirim lagi dengan perbaikan februari 2014. Dan akhirnya beneran keluar pas mau bulan juli. Mungkin itu yang disebut di dalam ayat cinta-Nya, "innallaha ma'ashobirin". :D. Jadi fighting buat siapapun yang lagi ngirim dan berjuang menulis hingga saat ini (termasuk saya sendiri, hehe...).
Jadi, have enjoy it. ^^
Lolongan Tobi
Penulis
: Wawat Smart
H-1 ramadhan, Tobi dan Fiyan tampak
uring-uringan. Wajah kakak beradik ini benar-benar kusut. Bibir bawah mereka
pun tampak menjulur ke depan. Dan kini sembari menunggu masakan Ibu matang,
dipautkan dagu sang adik, Fiyan, pada meja makan. “Besok beneran harus
puasa ya, Kak? Huhu...,” ucap Fiyan
sembari terus meratap.
Tobi
pun ikut mengoceh, "Perut. O, perut...,” Tobi memegang
perutnya yang memang agak buncit, “gimana kabar kita
besok? Bisa-bisa kita mati kalau seharian gak makan. Huhu."
Saat
itu, Ibu yang melihat tingkah anaknya di dapur hanya bisa menghela nafas.
Menyuruh anaknya berpuasa di bulan ramadhan seharusnya bukanlah sebuah siksaan. Tapi nampaknya, lain Ibu lain sang anak.
Dan
kini karena terlalu sibuk meratapi siksaan puasa esok, keduanya pun tertidur di
meja makan. Benar-benar lelap.
***
Awan
terlihat benar-benar mendung. Dan tanpa perlu menunggu,
hujan pun mengguyur bumi dengan derasnya. Merambah hingga ke celah-celah loteng
rumah kakak beradik ini. Hingga kemudian, sebuah tetesan yang datang dari atap
yang bocor membangunkan Tobi.
Tobi
pun terbangun dengan rasa lapar. Untung saja saat
itu hidangan makan siang sudah disajikan Ibu di meja makan. Maka tanpa ragu, diambilnya
sendok nasi. Tetapi belum sempat nasi itu disendok, tetesan hujan yang kembali jatuh mengacaukan
segalanya. Tesh ! Tesh!
Kabel rice
cooker yang sudah sedikit terkelupas tiba-tiba korslet
terkena tetesan hujan. Dan dalam hitungan detik ...
DRRRRRR
! DRRRR !
Tobi
yang tak sengaja menyentuhnya saat menyendok nasi ikut tersetrum. Benar-benar hampir
membuatnya tak sadarkan diri. Dan anehnya bukan hanya itu.
Setruman itu tiba-tiba menyusutkan tubuhnya juga. Ya, hampir sebesar ukuran butiran
nasi. Hingga akhirnya, tubuhnya yang mengecil terpental ke atas sendok nasi
yang ia pegang tadi. Tobi kebingungan bukan main. Wajahnya pucat. Ia pun
berteriak dengan keras. “Adeekk.... Adeeek...,” teriak Tobi sembari berharap adiknya
akan bangun.
Ya,
harapan Tobi terkabul. Fiyan terbangun dari tidurnya. Sayangnya
karena lapar, suara itu ia abaikan. Apalagi Fiyan
melihat makanan sudah tersaji di depan mata. Maka tanpa memperhatikan yang lain
diambilnya
sendok nasi yang terjatuh.
Tobi
yang berada dalam sendok nasi yang dipegang Fiyan tak ingin kehilangan
kesempatan. Ia kembali berteriak sekencang-kencangnya. “Fiyaaaaann...
Fiyaaaan... ini kakaaaaak! Huhu... toloooong kakaaakkk...!”
Karena
lapar, lagi-lagi suara itu kembali diabaikan Fiyan. Tobi yang telah mengecil
pun akhirnya tercampur ke dalam piring. Dan...
HAP!
Mulut Fiyan menganga. Memasukkan semua makanan yang ada di
sendoknya. Ya, termasuk Tobi.
“Arrgggh…,” teriak Tobi histeris. Di dalam mulut, ia berlari menghindar dari kunyahan
geraham. Tetapi belum sempat menghindar, derasnya air minum yang diteguk Fiyan mendorong tubuhnya. Tobi pun jatuh terjungkang. Terdorong ke dalam
kerongkongan bersama derasnya sang air. Memasuki
akhir terowongan kerongkongan, Tobi kembali tertegun. Tubuhnya kembali terlempar.
Masuk ke dalam gua merah berlendir asam. Sebuah gua yang sepertinya menampung semua makanan yang dikunyah
adiknya. Ia tersadar tempat ini adalah lambung. Ia teringat kata gurunya. Semua
makanan akan dilumat di sini. Ya, termasuk dirinya. Wajah Tobi kembali pucat. Ia
menelan ludahnya yang mulai sepah. Astaga! tentu ia tak mau musnah begini saja.
Dengan penuh kecemasan, dipanjatnya dinding lambung itu. Tetapi sebuah suara
dari dinding lambung tiba-tiba mengagetkannya.
“Hei...hei…makanan. Mau lari kemana kamu?”
“A...aku
bukan makanan.. A-k-u...," jawab Tobi penuh ketakutan.
"Ah, sudahlah aku tak peduli kamu itu apa. Jujur,
kalau boleh milih, aku juga ogah melumatmu. Asal kamu tahu, kerjaanku itu ga
berhenti seharian ini. Majikanku emang ga pernah ngertiin perasaanku. Mana
pernah aku dikasih kesempatan untuk istirahat. Baru selesai melumat makanan, ia
kembali menyuruhku untuk melumat lagi. Tega..tega..!"
Tobi menelan ludah mendengar curhat sang dinding
lambung.
"Hiks-hiks. Iya, benar. Majikan kita memang kejam,"
sebuah suara dari dinding lambung lain ikut berbicara, "padahal besok itu
puasa. Jangan-jangan majikan kita menolak puasa lagi kayak tahun lalu. Padahal
kalau ia puasa, kita bisa istirahat, bisa tidur sejenak. Sudah setahun kita kerja
ga berhenti-berhenti. Huhu…."
Tobi kembali menelan ludah. Ia tidak tahu jika puasa
itu begitu penting bagi organ tubuh. Kali ini ia benar-benar merasa bersalah.
Belum sempat mengucap maaf, tumpahan air dari atas lambung tiba-tiba menimpanya.
Membuat tubuhnya terlempar ke dasar lambung.
BYURR !
“Tobiiiiiiiiiii… Fiyaaaannnn. Hayoo, jangan tidur
mulu!” ucap Ibu sembari menciprat kedua anaknya dengan air. “Bangun…Bangunnn!
Makanan udah matang, Nak.”
Fiyan nampaknya menikmati tidurnya. Ia terus mengelak
untuk dibangunkan. Sedangkan Tobi terbangun mendengar suara Ibu. Dikucek
matanya tanda tak percaya. Ia bingung dengan yang dialaminya barusan. Tetapi
butiran nasi yang menempel di keningnya sepertinya berkata lain. Yah, apapun
itu ia sudah berjanji dalam hati. Tak ada kata tidak untuk berpuasa di bulan ramadhan
kali ini.
baguuuus... dpt ide drmn nih?
BalasHapusIni dapat ide gara ngelamun seharian,, hehe ^^
BalasHapuswah kak indar ngomen. makasih kak
BalasHapus