Minggu, 04 Oktober 2015

Lelaki Penggenggam Data



Tulisan ini adalah sebuah kisah yang terinsipirasi dari pejuang-pejuang data di negeri Bukit Barisan, Sumatera Barat. Semoga Allah membalas jihadmu para pejuang data. Walaupun sudah pernah ditayangi di islamedia.web.id, tetapi rasanya pingin juga ditampilin di blog sendiri, hehe.... Yang belum pernah baca, khususnya orang BPS, check it out!



Lelaki Penggenggam Data
Penulis : Wawat Smart


Islamedia  Pak Alif tertegun sejenak. Matanya tersikap penuh layu. Pikiran pria berbadan tegap ini hanya tertuju pada kuesioner lusuh yang dipegangnya sedari tadi. Jika ia mengingat cemoohan Pak Yadi pada Jodi kemarin, tentu langkahnya akan semakin tak tentu.


“Sudah pulang saja kamu! Mau ladang tebu saya dicatat kek, saya juga masih miskin.”
“Tapi Pak, ini untuk kebutuhan data sensus. Ayolah Pak! Data Bapak sangatlah berarti.”
“Kamu ini ngeyel ya kalau dibilangin orang. Saya bilang tidak ya tidak!”

Pak Alif kembali beranjak dari ingatan yang membuat kepalanya pusing. Ia mengambil tas berlabelkan sensus pertanian miliknya. Kuesioner lusuh ditangannya ia masukkan ke dalam tas bercorak kehijauan itu. Dengan sedikit keraguan, ditepiskannya perasaan yang membuat hatinya gundah. Kali ini ia harus kembali ke rumah Pak Yadi. Petani tebu itu harus ia taklukan hatinya.

“Ya, apapun yang terjadi data ini harus diperjuangkan,” bisik Pak Alif dalam terpaan angin senja.

                                                            ***
Pagi itu burung camar berbincang dengan asyiknya. Mengitari pedesaan di kawasan Bukit Barisan. Pak Alif yang sedari tadi sibuk mencermati kuesioner hasil pencacahan sensus pertanian timnya tertegun seketika. Tatapannya tertuju pada koran yang sedang tergeletak di atas meja. Baris-baris huruf pada halaman atas itu ia cermati. Ia tertegun. Menulusuri satu per satu kalimat-kalimat berita itu membuat wajah pria ini tercengang.
Data BPS bohong. Data BPS hanya rekaan. Petugas sensus hanya mengarang data itu saja dan….

Pak Alif menghela nafas. Berusaha meratapi kejanggalan media ini. Ia tahu itu tak benar. Ia tahu bagaimana kerasnya perjuangan sang pencacah lapangan. Jika media meliput bagaimana ia dan teman pencacah lainnya rela menelusuri pencacahan sampai akhir, sampai ke ujung bukit pun, mereka akan tahu susahnya perjuangan itu.

Pak Alif kembali mendesah. Ia tahu benar kualitas data instansi ini. Beberapa tahun pengabdiannya bergabung sebagai koordinator tim survey dan sensus, membuatnya bisa berkata seperti itu.

Ingatan lelaki paruh baya ini bergulir pada kerasnya pencacahan yang dilakukan timnya saat sensus penduduk 2010 kemarin. Gongongan anjing dari rumah Bu Darti, pengusiran warga yang tidak mau dicacah, bahkan gelapnya malam pernah dihadangnya untuk mendapatkan kualitas data ini.  Dan sekarang media berkata seenaknya saja. Ah, tentu hati pejuang data ini akan berguncang.

Drrr… Drrr… Drrr…. 

Ponsel Pak Alif bergetar. Sebuah pesan singkat membuat kening tuanya mengerut.

Pak Kortim ini Jodi. Bagaimana ini Pak? Pak Yadi ndak mau dicacah. Sekarang kami malah disuruh pulang sama dia. Beliau masih kukuh ndak mau didata.

                                                            ***
“Pak, kenapa kita ndak buat data fiktif aja? Kenapa mesti capek-capek mencacahnya segala. Bapak kan tahu, rumah terakhir itu sangat jauh. Letaknya pun di ujung bukit. Untuk menuju ke sana saja kita harus melewati hutan bambu yang lebat itu. Mana orang yang tinggal disana sudah sepuh. Kalau ditanya saja kadang dia ngelantur jawabnya, Pak. Dicacah atau tidak sama saja kan?” ucap Jodi dengan lugunya.

Lelaki berdarah minang itu tersenyum. Ditatapnya wajah anak buahnya itu dengan mantap.

“Kau tahu Nak. Ini bukan hanya sekedar jauh tidaknya, bukan sekedar susah tidaknya. Sekarang aku tanya padamu. Kau tahu guna data ini untuk bangsa ini? Dan… kau tahu sebab kita ada disini?” timpal Pak Alif sambil menyeka keringatnya sedari tadi.

“Kalau sebab saya disini, ya… buat nyari makan Pak, hehe,” ujar Jodi penuh canda.
“Aduh… selain itulah.”

Pak Alif menggaruk kepalanya walaupun tidak gatal.
“Kita disini sedang berjihad Jod….”
Kata-kata Pak Alif melumat wajah lugu Jodi. Raut muka kebingungan yang ditampakkan pria berwajah tirus ini membuat Pak Alif tersenyum simpul.

“Ya, kita sedang berjihad untuk mengabdi pada negeri ini. Apapun yang terjadi, data ini harus diperjuangkan. Tantangan itu memang akan selalu ada. Pengusiran dari orang lain, ketidakpercayaan media pada data ini, semuanya adalah tantangan Nak. Tapi coba bayangkan ke depan. Bayangkan dengan lebih dalam…. Semua kebijakan negeri ini kelak diproyeksikan dengan data ini. Kalau tak ada yang memperjuangkan kebenarannya, siapa lagi yang akan membenahi negeri kita, Nak?”

Jodi tertegun. Ia berusaha memikirkan kalimat Pak Alif. Semuanya memang benar. Pejuang data itu memang tidak boleh gentar untuk mendapatkan data yang benar.

Ah, ini rumah terakhir yang harus mereka cacah. Urusan dengan Pak Yadi kemarin pun alhamdulillah sudah selesai. Dan itu semua berkat kepiawaian Pak Alif. Pembicaraan interaktif yang beliau coba bangun sore itu tentu tidak akan pernah dilupakan anak muda ini. Setiap kali petani tebu itu berdalih, semakin Pak Alif cekatan. Jurus-jurus mautpun dikeluarkan. Pak Alif selalu berusaha menyelipkan kepercayaan kepada petani tebu ini. Dan dengan kesabaran, benih kepercayaan itu akhirnya membekas dalam hati sang petani. Membukakan pintu keraguan akan kegunaan sensus ini. Membukakan tabir kebimbangan petani tua yang sudah bosan dengan berbagai tipu daya dunia.

Jodi tahu, ia diam-diam mengangumi sosok pejuang data yang ada di sebelahnya ini.  Sesuatu muncul diam-diam merayap hatinya.

“Ya, apapun yang terjadi kita memang harus mengabdi, melayani, menjadi sesuatu yang berarti bagi negara ini,” ucap Jodi dalam diam.

Masih dalam senja yang sama…
Butiran kepercayaan mulai tertuah
Membekas dalam rona peluh yang terus bergulir
Merayap keraguan dalam dekapan kesabaran

Masih dalam senja yang sama…
Sebuah kata pun berujar penuh makna
Mendesir waktu para penggenggam data
La takhof, innallaha ma’anna




Jumat, 05 September 2014

Cerpen Anak (Rilis di Majalah Ummi Edisi Ramadhan 2014)

     
        Wah udah lama rasanya ga ngeblog. Emang saya paling males ngeblog, hehe... Tapi tak apalah :P, Demi uniku yang tercintah (cc ; Uni Novia Erwida). Tak posting janjiku  publish cernak buatanku yang rilis di Ummi kemarin. Tapi kalau boleh jujur ini karya pertama ane yang posting di majalah lho. Sebelumnya belum pernah. Ciyusss dah :D. Walaupun buku antologi dan kumcer udah berceceran, tapi rasanya tembus ke  majalah/atau koran itu, rasanya nyeeeesssss buanget...haha :P
        Kalo ngomongin proses kreatif sampai nih cerpen tembus ke majalah Ummi wah panjang amir. Dari sejak november 2013, trus tak kirim lagi dengan perbaikan februari 2014. Dan akhirnya beneran keluar pas mau bulan juli. Mungkin itu yang disebut di dalam ayat cinta-Nya, "innallaha ma'ashobirin". :D. Jadi fighting buat siapapun yang lagi ngirim dan berjuang menulis hingga saat ini (termasuk saya sendiri, hehe...).
        Jadi, have enjoy it. ^^




Lolongan Tobi
                                                              Penulis : Wawat Smart

            H-1 ramadhan, Tobi dan Fiyan tampak uring-uringan. Wajah kakak beradik ini benar-benar kusut. Bibir bawah mereka pun tampak menjulur ke depan. Dan kini sembari menunggu masakan Ibu matang, dipautkan dagu sang adik, Fiyan, pada meja makan. “Besok beneran harus puasa ya, Kak? Huhu...,” ucap Fiyan sembari terus meratap.
Tobi pun ikut mengoceh, "Perut. O, perut...,” Tobi memegang perutnya yang memang agak buncit, “gimana kabar kita besok? Bisa-bisa kita mati kalau seharian gak makan. Huhu."
Saat itu, Ibu yang melihat tingkah anaknya di dapur hanya bisa menghela nafas. Menyuruh anaknya berpuasa di bulan ramadhan seharusnya bukanlah sebuah siksaan. Tapi nampaknya, lain Ibu lain sang anak.
Dan kini karena terlalu sibuk meratapi siksaan puasa esok, keduanya pun tertidur di meja makan. Benar-benar lelap.
***
Awan terlihat benar-benar mendung. Dan tanpa perlu menunggu, hujan pun mengguyur bumi dengan derasnya. Merambah hingga ke celah-celah loteng rumah kakak beradik ini. Hingga kemudian, sebuah tetesan yang datang dari atap yang bocor membangunkan Tobi.
Tobi pun terbangun dengan rasa lapar. Untung saja saat itu hidangan makan siang sudah disajikan Ibu di meja makan. Maka tanpa ragu, diambilnya sendok nasi. Tetapi belum sempat nasi itu disendok, tetesan  hujan yang kembali jatuh mengacaukan segalanya. Tesh ! Tesh!
Kabel rice cooker yang sudah sedikit terkelupas tiba-tiba korslet terkena tetesan hujan. Dan dalam hitungan detik ...
DRRRRRR ! DRRRR !
Tobi yang tak sengaja menyentuhnya saat menyendok nasi ikut tersetrum. Benar-benar hampir membuatnya tak sadarkan diri. Dan anehnya bukan hanya itu. Setruman itu tiba-tiba menyusutkan tubuhnya juga. Ya, hampir sebesar ukuran butiran nasi. Hingga akhirnya, tubuhnya yang mengecil terpental ke atas sendok nasi yang ia pegang tadi. Tobi kebingungan bukan main. Wajahnya pucat. Ia pun berteriak dengan keras. “Adeekk.... Adeeek...,” teriak Tobi sembari berharap adiknya akan bangun.
Ya, harapan Tobi terkabul. Fiyan terbangun dari tidurnya. Sayangnya karena lapar, suara itu ia abaikan. Apalagi Fiyan melihat makanan sudah tersaji di depan mata. Maka tanpa memperhatikan yang lain diambilnya sendok nasi yang terjatuh.
Tobi yang berada dalam sendok nasi yang dipegang Fiyan tak ingin kehilangan kesempatan. Ia kembali berteriak sekencang-kencangnya. “Fiyaaaaann... Fiyaaaan... ini kakaaaaak! Huhu... toloooong kakaaakkk...!”
Karena lapar, lagi-lagi suara itu kembali diabaikan Fiyan. Tobi yang telah mengecil pun akhirnya tercampur ke dalam piring. Dan...
HAP! Mulut Fiyan menganga. Memasukkan semua makanan yang ada di sendoknya. Ya, termasuk Tobi.
“Arrgggh…,” teriak Tobi histeris. Di dalam mulut, ia berlari menghindar dari kunyahan geraham. Tetapi belum sempat menghindar, derasnya air minum yang diteguk Fiyan mendorong tubuhnya. Tobi pun jatuh terjungkang. Terdorong ke dalam kerongkongan bersama derasnya sang air. Memasuki akhir terowongan kerongkongan, Tobi kembali tertegun. Tubuhnya kembali terlempar. Masuk ke dalam gua merah berlendir asam. Sebuah gua yang sepertinya menampung semua makanan yang dikunyah adiknya. Ia tersadar tempat ini adalah lambung. Ia teringat kata gurunya. Semua makanan akan dilumat di sini. Ya, termasuk dirinya. Wajah Tobi kembali pucat. Ia menelan ludahnya yang mulai sepah. Astaga! tentu ia tak mau musnah begini saja. Dengan penuh kecemasan, dipanjatnya dinding lambung itu. Tetapi sebuah suara dari dinding lambung tiba-tiba mengagetkannya.
“Hei...hei…makanan. Mau lari kemana kamu?”
            “A...aku bukan makanan.. A-k-u...," jawab Tobi penuh ketakutan.
"Ah, sudahlah aku tak peduli kamu itu apa. Jujur, kalau boleh milih, aku juga ogah melumatmu. Asal kamu tahu, kerjaanku itu ga berhenti seharian ini. Majikanku emang ga pernah ngertiin perasaanku. Mana pernah aku dikasih kesempatan untuk istirahat. Baru selesai melumat makanan, ia kembali menyuruhku untuk melumat lagi. Tega..tega..!"
Tobi menelan ludah mendengar curhat sang dinding lambung.
"Hiks-hiks. Iya, benar. Majikan kita memang kejam," sebuah suara dari dinding lambung lain ikut berbicara, "padahal besok itu puasa. Jangan-jangan majikan kita menolak puasa lagi kayak tahun lalu. Padahal kalau ia puasa, kita bisa istirahat, bisa tidur sejenak. Sudah setahun kita kerja ga berhenti-berhenti. Huhu…."
Tobi kembali menelan ludah. Ia tidak tahu jika puasa itu begitu penting bagi organ tubuh. Kali ini ia benar-benar merasa bersalah. Belum sempat mengucap maaf, tumpahan air dari atas lambung tiba-tiba menimpanya. Membuat tubuhnya terlempar ke dasar lambung.
BYURR !
“Tobiiiiiiiiiii… Fiyaaaannnn. Hayoo, jangan tidur mulu!” ucap Ibu sembari menciprat kedua anaknya dengan air. “Bangun…Bangunnn! Makanan udah matang, Nak.”
Fiyan nampaknya menikmati tidurnya. Ia terus mengelak untuk dibangunkan. Sedangkan Tobi terbangun mendengar suara Ibu. Dikucek matanya tanda tak percaya. Ia bingung dengan yang dialaminya barusan. Tetapi butiran nasi yang menempel di keningnya sepertinya berkata lain. Yah, apapun itu ia sudah berjanji dalam hati. Tak ada kata tidak untuk berpuasa di bulan ramadhan kali ini. 

Kamis, 05 Desember 2013

komikku edisi ke-2

ini komikku edisi ke-2.
pelayoutannya udah lumayan baik,,
walau plot-plotnya masih numpuk-numpuk..

Y, maaf...beginilah para pemula
judulnya : Manajemen waktu
Selamat membaca

Kamis, 07 November 2013

Resensi Buku 'Menyimak Kicau Merajut Makna'



Resensi Buku

Judul Buku : Menyimak Kicau Merajut Makna (Kumpulan tweet dari akun @salimafillah)
Penulis : Salim A.Fillah

Siapa yang tak mengenal Ustad Salim A.Fillah? seorang penulis best seller buku “Dalam Dekapan Ukhuwah”. Dalam buku yang ditulisnya berdasarkan kumpulan tweet akun @salimafillah, beliau berujar dengan indah.
“Seuntai kicauan berserakan dari hamba Allah yang tertawan dosanya; santri yang tertahan kejahilannya, yang berharap dapat berbagi manfaat dalam faqir dan dha’ifnya. Renungan yang lebih tepat ditelunjukkan pada diri; diterbankan agar bisa bersama dihayati”.
Sekilas membaca sampul buku yang dibalut dengan warna hijau tosca ini, membawa pembaca pada kicauan yang menyejukkan hati. Kicauan yang sederhana, tapi menggugah relung-relung hati yang rindu akan basahnya siraman-Nya.
Bahkan seorang relawan Al-Aqsa juga ikut berpendapat tentang buku ini. Menurutnya, melalui twitter, Akh Salim sedang ‘memaksa’ dunia Pop Culture untuk lebih tahu diri di hadapan Allah dan rasulullah serta para sahabatnya. Sebagian besar akan menerima ‘paksaanya’ dengan senang hati. Kau tahu kenapa? Karena ‘paksaan’ itu disampaikan dengan kerendahan hati yang begitu tulus. Malah kadang membuat orang malu merenungkan ketakaburannya di masa silam.
               Memasuki lembaran-lembaran awal pada buku ini akan didapati berbagai adab yang disajikan untuk dikonsumsi terlebih dahulu. Adab twitter, adab berpuji, adab berbicara, sampai adab menasehati diutarakan Ustad Salim dengan cara bijak.
               Oh, ya! Banyak kultweet yang saya sukai diantara kumpulan tweet yang terangkum dalam buku setebal 408 halaman ini. Kultweet dengan judul “Menulis itu bercara” mengajari saya tentang sebuah keikhlasan dalam menulis.
Dalam tuturannya beliau berujar, “Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai karunia-Nya, begitu agung dayanya menampung sedemikian data-data. Tetapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk membuka khazanaah akal; sekata tuk sealinea; sekalimat untuk sebab, separagraf untuk sekitab. Dan hal itu dapat kita pahami pula pada kalimat indah Asy-Syafi’i, “Ilmu adalah binatang buruan dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya”.
“Menjadi penulis adalah pertaruhan. Tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berantai-rantai. Akankah Nicolo Machiavelli bertanggung jawab atas berbagai kezaliman yang terilham dalam buku II Principlenya? Sebab ternyata bukan hanya pahala yang bersifat “jariyah”, melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Tetapi bahagialah jika huruf-huruf tadi menjelma dzarah kebajikan. Dan akan terkejutlah para penulis kebenaran kelak ketika catatan amalnya diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?” Moga kelak dijawab-Nya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit, tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan yang kautebarkan.” Tulisan shahih dan muslih, jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang yang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan”.
Dan pada titik selanjutnya beliau berujar kembali.
“Menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada kotoran dan darah, kekayaan dan kemasyhuran, riya’ dan sum’ah. Jika ikhlas berhsil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan, dan perbuatan sang penulis menjadi bergizi, memberi arti, mudah dicerna menjadi amal suci.”
Ah, sungguh alangkah beruntungnya jika setiap penulis benar-benar menulis karena mengharap ridho Allah.  Setiap tulisannya akan menjadi amal jariyah yang tak putus-putusnya.
Dan ternyata dalam buku kumpulan kicauan ini, bukan hanya ribuan nasehat yang saya dapati. Ada kultweet yang begitu mempesona bertajuk “Jawaban yang telak”. Berikut saya kutipkan kultweet yang membawa saya tersenyum manis.
“Hati-hati Nak!” ujar Abu Hanifah pada seorang anak yang berlari dan terjatuh.
“Jatuhku ini sembuhnya cepat wahai Syaikh,” sahut si anak, “tapi kalau kau yang tergelincir ummat akan tersesat!”
Atau mari kita dengar bagian kultweet tentang Ali dalam tajuk ini.
“Di masa Abu Bakar dan Umar kehidupan makmur dan sentosa, mengapa di masamu banyak fitnah dan sengketa?”, hardik seorang Khawarij. Maka Ali pun menyahut, “Sebab di masa Abu Bakr dan Umar rakyatnya seperti aku, sedangkan dimasaku rakyatnya seperti kamu.”
Manis sekali setiap kultweet yang dirangkum dalam balutan buku ini. Empat ratus kultweet yang menyegarkan setiap pembaca hadir dalam bingkisan yang berbeda. Semoga setiap yang membaca bisa meresapi makna yang indah yang hadir diam-diam melintasi hati ini.

Kamis, 31 Oktober 2013

"Hijrah dalam Balutan Ukhuwah", ujarku.



Bermula dari sentilan para member BAW membuat saya kembali lagi blogging. Ah, semoga niat ini dikonsistenkan. Amin....
Hmm, kali ini saya ingin berkisah tentang kajian Ustad Salim Al-Fillah di auditorium STIS minggu kemarin. Temanya cukup unik, 'Indahnya berhijrah dalam dekapan ukhuwah'. Pesertanya pun lumayan banyak. Bukan cuma mahasiswa yang jadi pesertanya. Kami, anak STIS angkatan 50 atau 51 yang sudah didepak dari kampus karena udah lulus pun malah mengambil duduk terdepan. Hihi, terdepan dalam prestasi katanya. Ah, daripada kelamaan muqadimmah, mari kita lanjut ke isi materi. Check it out gan !

...


    Hijrah itu selalu berhubungan dengan niat dan ada perencanaan di dalamnya. Hijrah itu selalu berhubungan dengan pengorbanan. Ada sesuatu yang harus ditanggalkan untuk berhijrah. Ingatkah cerita ibrahim dan hajar? Ada yang harus ditanggalkan oleh Hajar ketika ia diuji sewaktu ditinggal oleh nabi Ibrahim.
          Ketika berhijrah kita harus bertawakal dan biarkan Allah memberi kejutan rizki dari hal yang tak terduga-duga. Dan terserah Allah menaruh rizki itu dimana. Contohnya kisah Hajar. Walaupun beliau bolak balik dari Safa dan Marwa untuk mencari air untuk bayi Ismail yang kehausan, tetapi ternyata rizki itu malah timbul dari kakinya Ismail. Mungkin kalau kita menjadi seorang Hajar kita pasti akan berkata sambil meringis, "Lho kok ndak dari tadi wae munculnya ya Allah...?".
           Dan Allah akan menunjukkan maghonimu sa'ah, yaitu bagaimana luas dan lapangnya rizki Allah. Jadi bagi teman-teman STIS yang penempatan di berbagai penjuru dunia. Jangan putus asa ya teman, rizki Allah ada dimana-mana :)
           Rizki itu bukan soal memiliki tetapi masalah menikmatinya. Dan hijrah itu berat, seberat kita meyakini keridhoaan Allah. Ingat kisah suhaib bin aruni? Sahabat nabi yang menjual semua hartanya di makkah hanya untuk mencari keridhoan Allah dan menemui rasulullah di madinah. Ketika hendak berhijrah, ia dicekal oleh para kaum Quraish.
"Hei, Suhaib. Kemana kau hendak pergi? Ingatkah kau dulu, kau datang ke kota ini dengan tidak membawa apa-apa. Dan kini kau menjadi kaya raya di kota ini. Lantas enak saja kau pergi berhijrah mengikuti Muhammad", ujar kaum Quraish (*redaksi obrollan q ya gan)
"Jika memang begitu. Saya tinggalkan seluruh harta saya dan jaminkanlah keamanan untuk saya berhijrah ke madinah".
Dan kemudian jadilah Suhaib pergi dari kota makkah tanpa membawa apa-apa. Bajunya compang-camping. Beberapa hari ia lalui tanpa membawa bekal menuju kota Madinah.
       Sesampainya di Madinah, cibiran pun kembali datang menyapanya. Para penduduk kota Madinah menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata,"Bangkrut kau Suhaib! Bangkrut sudah kau Suhaib!".
        Tetapi seketika itu pula rasul datang. Kemudian ia memeluk Suhaib yang masih kelelahan dengan perjalanan yang panjang. Pelukan nabi membuat rasa lelah dan sedih itu hilang. Rasul pun tersenyum dengan wajah yang berbinar dan berujar,"Sungguh untung kau Suhaib. Sungguh itu adalah jual beli yang menguntungkan". Ya, setiap orang tidak sadar. Sebenarnya seluruh harta yang Suhaib infakkan di jalanNya akan dilipatgandakan oleh Allah. Dan siapa yang merugi jika jual beli itu dilakukan dengan Allah, sang Maha Kaya dan Maha Pemurah. Dan sekali lagi, itulah ukhuwah. Karena ukhuwah membuat hijrah itu menjadi ringan.
Sahabat ini sangat hebat memang. Semua fasilitas ia tanggalkan untuk berhijrah. Dan pada kenyataannya memang kita sering gagal dalam berjuang karena terlena dengan fasilitas. Maka kenapa tidak berhijrah? Berat? Iya memang. Tapi kau tahu, hijrah itu akan menjadi ringan dengan dekapan ukhuwah itu walaupun tanpa fasilitas. Saya teringat dengan sebuah filsafat di cina yang berujar seperti ini 'Kalau mau pergi cepet pergilah sndiri. Kalau mau pergi jauh pergilah brsama-sama. Kalau mau mencapai tujuan, pilihlah pmimpin.'.
Lantas, bagaimana jika ukhuwah itu dlakukan tanpa diiringi cinta pada Allah? Waduh, kalau begini tentu akhirnya adalah penyesalan. Karena jika bukan karena Allah, 'fillah' tentu hanya gumpalan-gumpalan penyesalan yang timbul dalam dada.
Ada sebuah cerita tentang persahabatan Utbah dan Ubay. Dua orang yang selalu berazam untuk bersama. Dan karena dekatnya sampai-sampai mereka menikahi istri yang beradik kakak agar menjadi bisa menjalin ukhuwah yang lebih erat. Satu hari Utbah melewati Ka'bah. Dan tanpa disengaja ia pun mendengar surat thaha yg dibacakan rasul. Sungguh ia takjub mendengarnya. Bahkan sempat terbesit di hatinya untuk masuk islam. Tetapi disaat itu pula ia teringat dengan wajah Ubay. Ia ingin mengajak Ubay agar bisa bersama masuk islam. Tapi bagaimana jawaban Ubay mendengar ajakan temannya ini?
Ubay berkata dengan raut muka yang masam," Sunguh kau Utbah telah termakan sihir Muhammad. Aku haramkan wajahku kepadamu, Utbah". Utbah yang melihat jawaban Ubay merunduk. Ia tak mau teman yang begitu ia cintai menjauhinya. Dan akhirnya untuk membuktikan kecintaanya pada Ubay ia ambil tumpukan kotoran sapi. Lalu dengan tanpa rasa kasihan, ia taruh kotoran sapi itu dipunggung nabi. Astagfirullah....
Itulah ukhuwah. Sesuatu yang timbul karena cinta. Tapi cinta ini salah. Cinta yang tidak berujung pada 'fillah' hanya akan membawa penyesalan. Sungguh Allah benar-benar tidak menyukai ukhuwah yang seperti ini. Ada azab yang sepertinya menanti untuk ukhuwah yang seperti ini. Berhijrah dengan ukhuwah untuk mengharapkan ridho Allah, itulah yang seharusnya.