Kamis, 05 Desember 2013

komikku edisi ke-2

ini komikku edisi ke-2.
pelayoutannya udah lumayan baik,,
walau plot-plotnya masih numpuk-numpuk..

Y, maaf...beginilah para pemula
judulnya : Manajemen waktu
Selamat membaca

Kamis, 07 November 2013

Resensi Buku 'Menyimak Kicau Merajut Makna'



Resensi Buku

Judul Buku : Menyimak Kicau Merajut Makna (Kumpulan tweet dari akun @salimafillah)
Penulis : Salim A.Fillah

Siapa yang tak mengenal Ustad Salim A.Fillah? seorang penulis best seller buku “Dalam Dekapan Ukhuwah”. Dalam buku yang ditulisnya berdasarkan kumpulan tweet akun @salimafillah, beliau berujar dengan indah.
“Seuntai kicauan berserakan dari hamba Allah yang tertawan dosanya; santri yang tertahan kejahilannya, yang berharap dapat berbagi manfaat dalam faqir dan dha’ifnya. Renungan yang lebih tepat ditelunjukkan pada diri; diterbankan agar bisa bersama dihayati”.
Sekilas membaca sampul buku yang dibalut dengan warna hijau tosca ini, membawa pembaca pada kicauan yang menyejukkan hati. Kicauan yang sederhana, tapi menggugah relung-relung hati yang rindu akan basahnya siraman-Nya.
Bahkan seorang relawan Al-Aqsa juga ikut berpendapat tentang buku ini. Menurutnya, melalui twitter, Akh Salim sedang ‘memaksa’ dunia Pop Culture untuk lebih tahu diri di hadapan Allah dan rasulullah serta para sahabatnya. Sebagian besar akan menerima ‘paksaanya’ dengan senang hati. Kau tahu kenapa? Karena ‘paksaan’ itu disampaikan dengan kerendahan hati yang begitu tulus. Malah kadang membuat orang malu merenungkan ketakaburannya di masa silam.
               Memasuki lembaran-lembaran awal pada buku ini akan didapati berbagai adab yang disajikan untuk dikonsumsi terlebih dahulu. Adab twitter, adab berpuji, adab berbicara, sampai adab menasehati diutarakan Ustad Salim dengan cara bijak.
               Oh, ya! Banyak kultweet yang saya sukai diantara kumpulan tweet yang terangkum dalam buku setebal 408 halaman ini. Kultweet dengan judul “Menulis itu bercara” mengajari saya tentang sebuah keikhlasan dalam menulis.
Dalam tuturannya beliau berujar, “Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai karunia-Nya, begitu agung dayanya menampung sedemikian data-data. Tetapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk membuka khazanaah akal; sekata tuk sealinea; sekalimat untuk sebab, separagraf untuk sekitab. Dan hal itu dapat kita pahami pula pada kalimat indah Asy-Syafi’i, “Ilmu adalah binatang buruan dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya”.
“Menjadi penulis adalah pertaruhan. Tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berantai-rantai. Akankah Nicolo Machiavelli bertanggung jawab atas berbagai kezaliman yang terilham dalam buku II Principlenya? Sebab ternyata bukan hanya pahala yang bersifat “jariyah”, melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Tetapi bahagialah jika huruf-huruf tadi menjelma dzarah kebajikan. Dan akan terkejutlah para penulis kebenaran kelak ketika catatan amalnya diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?” Moga kelak dijawab-Nya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit, tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan yang kautebarkan.” Tulisan shahih dan muslih, jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang yang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan”.
Dan pada titik selanjutnya beliau berujar kembali.
“Menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada kotoran dan darah, kekayaan dan kemasyhuran, riya’ dan sum’ah. Jika ikhlas berhsil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan, dan perbuatan sang penulis menjadi bergizi, memberi arti, mudah dicerna menjadi amal suci.”
Ah, sungguh alangkah beruntungnya jika setiap penulis benar-benar menulis karena mengharap ridho Allah.  Setiap tulisannya akan menjadi amal jariyah yang tak putus-putusnya.
Dan ternyata dalam buku kumpulan kicauan ini, bukan hanya ribuan nasehat yang saya dapati. Ada kultweet yang begitu mempesona bertajuk “Jawaban yang telak”. Berikut saya kutipkan kultweet yang membawa saya tersenyum manis.
“Hati-hati Nak!” ujar Abu Hanifah pada seorang anak yang berlari dan terjatuh.
“Jatuhku ini sembuhnya cepat wahai Syaikh,” sahut si anak, “tapi kalau kau yang tergelincir ummat akan tersesat!”
Atau mari kita dengar bagian kultweet tentang Ali dalam tajuk ini.
“Di masa Abu Bakar dan Umar kehidupan makmur dan sentosa, mengapa di masamu banyak fitnah dan sengketa?”, hardik seorang Khawarij. Maka Ali pun menyahut, “Sebab di masa Abu Bakr dan Umar rakyatnya seperti aku, sedangkan dimasaku rakyatnya seperti kamu.”
Manis sekali setiap kultweet yang dirangkum dalam balutan buku ini. Empat ratus kultweet yang menyegarkan setiap pembaca hadir dalam bingkisan yang berbeda. Semoga setiap yang membaca bisa meresapi makna yang indah yang hadir diam-diam melintasi hati ini.

Kamis, 31 Oktober 2013

"Hijrah dalam Balutan Ukhuwah", ujarku.



Bermula dari sentilan para member BAW membuat saya kembali lagi blogging. Ah, semoga niat ini dikonsistenkan. Amin....
Hmm, kali ini saya ingin berkisah tentang kajian Ustad Salim Al-Fillah di auditorium STIS minggu kemarin. Temanya cukup unik, 'Indahnya berhijrah dalam dekapan ukhuwah'. Pesertanya pun lumayan banyak. Bukan cuma mahasiswa yang jadi pesertanya. Kami, anak STIS angkatan 50 atau 51 yang sudah didepak dari kampus karena udah lulus pun malah mengambil duduk terdepan. Hihi, terdepan dalam prestasi katanya. Ah, daripada kelamaan muqadimmah, mari kita lanjut ke isi materi. Check it out gan !

...


    Hijrah itu selalu berhubungan dengan niat dan ada perencanaan di dalamnya. Hijrah itu selalu berhubungan dengan pengorbanan. Ada sesuatu yang harus ditanggalkan untuk berhijrah. Ingatkah cerita ibrahim dan hajar? Ada yang harus ditanggalkan oleh Hajar ketika ia diuji sewaktu ditinggal oleh nabi Ibrahim.
          Ketika berhijrah kita harus bertawakal dan biarkan Allah memberi kejutan rizki dari hal yang tak terduga-duga. Dan terserah Allah menaruh rizki itu dimana. Contohnya kisah Hajar. Walaupun beliau bolak balik dari Safa dan Marwa untuk mencari air untuk bayi Ismail yang kehausan, tetapi ternyata rizki itu malah timbul dari kakinya Ismail. Mungkin kalau kita menjadi seorang Hajar kita pasti akan berkata sambil meringis, "Lho kok ndak dari tadi wae munculnya ya Allah...?".
           Dan Allah akan menunjukkan maghonimu sa'ah, yaitu bagaimana luas dan lapangnya rizki Allah. Jadi bagi teman-teman STIS yang penempatan di berbagai penjuru dunia. Jangan putus asa ya teman, rizki Allah ada dimana-mana :)
           Rizki itu bukan soal memiliki tetapi masalah menikmatinya. Dan hijrah itu berat, seberat kita meyakini keridhoaan Allah. Ingat kisah suhaib bin aruni? Sahabat nabi yang menjual semua hartanya di makkah hanya untuk mencari keridhoan Allah dan menemui rasulullah di madinah. Ketika hendak berhijrah, ia dicekal oleh para kaum Quraish.
"Hei, Suhaib. Kemana kau hendak pergi? Ingatkah kau dulu, kau datang ke kota ini dengan tidak membawa apa-apa. Dan kini kau menjadi kaya raya di kota ini. Lantas enak saja kau pergi berhijrah mengikuti Muhammad", ujar kaum Quraish (*redaksi obrollan q ya gan)
"Jika memang begitu. Saya tinggalkan seluruh harta saya dan jaminkanlah keamanan untuk saya berhijrah ke madinah".
Dan kemudian jadilah Suhaib pergi dari kota makkah tanpa membawa apa-apa. Bajunya compang-camping. Beberapa hari ia lalui tanpa membawa bekal menuju kota Madinah.
       Sesampainya di Madinah, cibiran pun kembali datang menyapanya. Para penduduk kota Madinah menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata,"Bangkrut kau Suhaib! Bangkrut sudah kau Suhaib!".
        Tetapi seketika itu pula rasul datang. Kemudian ia memeluk Suhaib yang masih kelelahan dengan perjalanan yang panjang. Pelukan nabi membuat rasa lelah dan sedih itu hilang. Rasul pun tersenyum dengan wajah yang berbinar dan berujar,"Sungguh untung kau Suhaib. Sungguh itu adalah jual beli yang menguntungkan". Ya, setiap orang tidak sadar. Sebenarnya seluruh harta yang Suhaib infakkan di jalanNya akan dilipatgandakan oleh Allah. Dan siapa yang merugi jika jual beli itu dilakukan dengan Allah, sang Maha Kaya dan Maha Pemurah. Dan sekali lagi, itulah ukhuwah. Karena ukhuwah membuat hijrah itu menjadi ringan.
Sahabat ini sangat hebat memang. Semua fasilitas ia tanggalkan untuk berhijrah. Dan pada kenyataannya memang kita sering gagal dalam berjuang karena terlena dengan fasilitas. Maka kenapa tidak berhijrah? Berat? Iya memang. Tapi kau tahu, hijrah itu akan menjadi ringan dengan dekapan ukhuwah itu walaupun tanpa fasilitas. Saya teringat dengan sebuah filsafat di cina yang berujar seperti ini 'Kalau mau pergi cepet pergilah sndiri. Kalau mau pergi jauh pergilah brsama-sama. Kalau mau mencapai tujuan, pilihlah pmimpin.'.
Lantas, bagaimana jika ukhuwah itu dlakukan tanpa diiringi cinta pada Allah? Waduh, kalau begini tentu akhirnya adalah penyesalan. Karena jika bukan karena Allah, 'fillah' tentu hanya gumpalan-gumpalan penyesalan yang timbul dalam dada.
Ada sebuah cerita tentang persahabatan Utbah dan Ubay. Dua orang yang selalu berazam untuk bersama. Dan karena dekatnya sampai-sampai mereka menikahi istri yang beradik kakak agar menjadi bisa menjalin ukhuwah yang lebih erat. Satu hari Utbah melewati Ka'bah. Dan tanpa disengaja ia pun mendengar surat thaha yg dibacakan rasul. Sungguh ia takjub mendengarnya. Bahkan sempat terbesit di hatinya untuk masuk islam. Tetapi disaat itu pula ia teringat dengan wajah Ubay. Ia ingin mengajak Ubay agar bisa bersama masuk islam. Tapi bagaimana jawaban Ubay mendengar ajakan temannya ini?
Ubay berkata dengan raut muka yang masam," Sunguh kau Utbah telah termakan sihir Muhammad. Aku haramkan wajahku kepadamu, Utbah". Utbah yang melihat jawaban Ubay merunduk. Ia tak mau teman yang begitu ia cintai menjauhinya. Dan akhirnya untuk membuktikan kecintaanya pada Ubay ia ambil tumpukan kotoran sapi. Lalu dengan tanpa rasa kasihan, ia taruh kotoran sapi itu dipunggung nabi. Astagfirullah....
Itulah ukhuwah. Sesuatu yang timbul karena cinta. Tapi cinta ini salah. Cinta yang tidak berujung pada 'fillah' hanya akan membawa penyesalan. Sungguh Allah benar-benar tidak menyukai ukhuwah yang seperti ini. Ada azab yang sepertinya menanti untuk ukhuwah yang seperti ini. Berhijrah dengan ukhuwah untuk mengharapkan ridho Allah, itulah yang seharusnya.

Minggu, 21 Juli 2013

Pudarkan saja...

Kamu tahu, sebabnya pasir menutup lukanya?
Karena saat itu angin berusaha mengaburkan.
Walau lekat dan lembab
Hakikat penguasa selalu berseliweran
Entah karena ia atau karena senyapan ombak

Saya kira ukhuwah kita sudah memudar
Tak ada pasirku yang melekat dalam kepingan kalian
Tak ada butiranku yang tersisa dalam kebersamaan kalian

Saya kira ukhuwah kita sudah memudar
Tak ada wajahku  saat kalian pergi merentas
Layaknya udara yang menghisap sang debu
Mestikah kepinganku engkau hilangkan begitu saja...?