Resensi Buku
Judul Buku : Menyimak Kicau
Merajut Makna (Kumpulan tweet dari akun @salimafillah)
Penulis : Salim A.Fillah
Siapa yang tak
mengenal Ustad Salim A.Fillah? seorang penulis best seller buku “Dalam Dekapan
Ukhuwah”. Dalam buku yang ditulisnya berdasarkan kumpulan tweet akun
@salimafillah, beliau berujar dengan indah.
“Seuntai
kicauan berserakan dari hamba Allah yang tertawan dosanya; santri yang tertahan
kejahilannya, yang berharap dapat berbagi manfaat dalam faqir dan dha’ifnya.
Renungan yang lebih tepat ditelunjukkan pada diri; diterbankan agar bisa
bersama dihayati”.
Sekilas
membaca sampul buku yang dibalut dengan warna hijau tosca ini, membawa pembaca
pada kicauan yang menyejukkan hati. Kicauan yang sederhana, tapi menggugah
relung-relung hati yang rindu akan basahnya siraman-Nya.
Bahkan seorang
relawan Al-Aqsa juga ikut berpendapat tentang buku ini. Menurutnya, melalui
twitter, Akh Salim sedang ‘memaksa’ dunia Pop
Culture untuk lebih tahu diri di hadapan Allah dan rasulullah serta para
sahabatnya. Sebagian besar akan menerima ‘paksaanya’ dengan senang hati. Kau
tahu kenapa? Karena ‘paksaan’ itu disampaikan dengan kerendahan hati yang
begitu tulus. Malah kadang membuat orang malu merenungkan ketakaburannya di
masa silam.
Memasuki
lembaran-lembaran awal pada buku ini akan didapati berbagai adab yang disajikan
untuk dikonsumsi terlebih dahulu. Adab twitter, adab berpuji, adab berbicara,
sampai adab menasehati diutarakan Ustad Salim dengan cara bijak.
Oh,
ya! Banyak kultweet yang saya sukai diantara kumpulan tweet yang terangkum
dalam buku setebal 408 halaman ini. Kultweet dengan judul “Menulis itu bercara”
mengajari saya tentang sebuah keikhlasan dalam menulis.
Dalam
tuturannya beliau berujar, “Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita
sebagai karunia-Nya, begitu agung dayanya menampung sedemikian data-data.
Tetapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu
dahulu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak. Maka menulis adalah
menyusun kata kunci tuk membuka khazanaah akal; sekata tuk sealinea; sekalimat
untuk sebab, separagraf untuk sekitab. Dan hal itu dapat kita pahami pula pada
kalimat indah Asy-Syafi’i, “Ilmu adalah binatang buruan dan pena yang
menuliskan adalah tali pengikatnya”.
“Menjadi
penulis adalah pertaruhan. Tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga
berpeluang menjadi keburukan berantai-rantai. Akankah Nicolo Machiavelli
bertanggung jawab atas berbagai kezaliman yang terilham dalam buku II
Principlenya? Sebab ternyata bukan hanya pahala yang bersifat “jariyah”,
melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Tetapi bahagialah jika huruf-huruf
tadi menjelma dzarah kebajikan. Dan akan terkejutlah para penulis kebenaran
kelak ketika catatan amalnya diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku
sebanyak ini?” Moga kelak dijawab-Nya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit,
tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan yang kautebarkan.” Tulisan
shahih dan muslih, jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala
orang yang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan”.
Dan pada titik
selanjutnya beliau berujar kembali.
“Menjadi
penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada kotoran dan darah,
kekayaan dan kemasyhuran, riya’ dan sum’ah. Jika ikhlas berhsil dilampaui;
jadilah tulisan, ucapan, dan perbuatan sang penulis menjadi bergizi, memberi
arti, mudah dicerna menjadi amal suci.”
Ah, sungguh
alangkah beruntungnya jika setiap penulis benar-benar menulis karena mengharap
ridho Allah. Setiap tulisannya akan
menjadi amal jariyah yang tak putus-putusnya.
Dan ternyata
dalam buku kumpulan kicauan ini, bukan hanya ribuan nasehat yang saya dapati.
Ada kultweet yang begitu mempesona bertajuk “Jawaban yang telak”. Berikut saya
kutipkan kultweet yang membawa saya tersenyum manis.
“Hati-hati
Nak!” ujar Abu Hanifah pada seorang anak yang berlari dan terjatuh.
“Jatuhku ini
sembuhnya cepat wahai Syaikh,” sahut si anak, “tapi kalau kau yang tergelincir
ummat akan tersesat!”
Atau mari kita
dengar bagian kultweet tentang Ali dalam tajuk ini.
“Di masa Abu Bakar
dan Umar kehidupan makmur dan sentosa, mengapa di masamu banyak fitnah dan
sengketa?”, hardik seorang Khawarij. Maka Ali pun menyahut, “Sebab di masa Abu
Bakr dan Umar rakyatnya seperti aku, sedangkan dimasaku rakyatnya seperti
kamu.”
Manis sekali
setiap kultweet yang dirangkum dalam balutan buku ini. Empat ratus kultweet
yang menyegarkan setiap pembaca hadir dalam bingkisan yang berbeda. Semoga
setiap yang membaca bisa meresapi makna yang indah yang hadir diam-diam
melintasi hati ini.