Kamis, 07 November 2013

Resensi Buku 'Menyimak Kicau Merajut Makna'



Resensi Buku

Judul Buku : Menyimak Kicau Merajut Makna (Kumpulan tweet dari akun @salimafillah)
Penulis : Salim A.Fillah

Siapa yang tak mengenal Ustad Salim A.Fillah? seorang penulis best seller buku “Dalam Dekapan Ukhuwah”. Dalam buku yang ditulisnya berdasarkan kumpulan tweet akun @salimafillah, beliau berujar dengan indah.
“Seuntai kicauan berserakan dari hamba Allah yang tertawan dosanya; santri yang tertahan kejahilannya, yang berharap dapat berbagi manfaat dalam faqir dan dha’ifnya. Renungan yang lebih tepat ditelunjukkan pada diri; diterbankan agar bisa bersama dihayati”.
Sekilas membaca sampul buku yang dibalut dengan warna hijau tosca ini, membawa pembaca pada kicauan yang menyejukkan hati. Kicauan yang sederhana, tapi menggugah relung-relung hati yang rindu akan basahnya siraman-Nya.
Bahkan seorang relawan Al-Aqsa juga ikut berpendapat tentang buku ini. Menurutnya, melalui twitter, Akh Salim sedang ‘memaksa’ dunia Pop Culture untuk lebih tahu diri di hadapan Allah dan rasulullah serta para sahabatnya. Sebagian besar akan menerima ‘paksaanya’ dengan senang hati. Kau tahu kenapa? Karena ‘paksaan’ itu disampaikan dengan kerendahan hati yang begitu tulus. Malah kadang membuat orang malu merenungkan ketakaburannya di masa silam.
               Memasuki lembaran-lembaran awal pada buku ini akan didapati berbagai adab yang disajikan untuk dikonsumsi terlebih dahulu. Adab twitter, adab berpuji, adab berbicara, sampai adab menasehati diutarakan Ustad Salim dengan cara bijak.
               Oh, ya! Banyak kultweet yang saya sukai diantara kumpulan tweet yang terangkum dalam buku setebal 408 halaman ini. Kultweet dengan judul “Menulis itu bercara” mengajari saya tentang sebuah keikhlasan dalam menulis.
Dalam tuturannya beliau berujar, “Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai karunia-Nya, begitu agung dayanya menampung sedemikian data-data. Tetapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk membuka khazanaah akal; sekata tuk sealinea; sekalimat untuk sebab, separagraf untuk sekitab. Dan hal itu dapat kita pahami pula pada kalimat indah Asy-Syafi’i, “Ilmu adalah binatang buruan dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya”.
“Menjadi penulis adalah pertaruhan. Tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berantai-rantai. Akankah Nicolo Machiavelli bertanggung jawab atas berbagai kezaliman yang terilham dalam buku II Principlenya? Sebab ternyata bukan hanya pahala yang bersifat “jariyah”, melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Tetapi bahagialah jika huruf-huruf tadi menjelma dzarah kebajikan. Dan akan terkejutlah para penulis kebenaran kelak ketika catatan amalnya diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?” Moga kelak dijawab-Nya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit, tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan yang kautebarkan.” Tulisan shahih dan muslih, jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang yang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan”.
Dan pada titik selanjutnya beliau berujar kembali.
“Menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada kotoran dan darah, kekayaan dan kemasyhuran, riya’ dan sum’ah. Jika ikhlas berhsil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan, dan perbuatan sang penulis menjadi bergizi, memberi arti, mudah dicerna menjadi amal suci.”
Ah, sungguh alangkah beruntungnya jika setiap penulis benar-benar menulis karena mengharap ridho Allah.  Setiap tulisannya akan menjadi amal jariyah yang tak putus-putusnya.
Dan ternyata dalam buku kumpulan kicauan ini, bukan hanya ribuan nasehat yang saya dapati. Ada kultweet yang begitu mempesona bertajuk “Jawaban yang telak”. Berikut saya kutipkan kultweet yang membawa saya tersenyum manis.
“Hati-hati Nak!” ujar Abu Hanifah pada seorang anak yang berlari dan terjatuh.
“Jatuhku ini sembuhnya cepat wahai Syaikh,” sahut si anak, “tapi kalau kau yang tergelincir ummat akan tersesat!”
Atau mari kita dengar bagian kultweet tentang Ali dalam tajuk ini.
“Di masa Abu Bakar dan Umar kehidupan makmur dan sentosa, mengapa di masamu banyak fitnah dan sengketa?”, hardik seorang Khawarij. Maka Ali pun menyahut, “Sebab di masa Abu Bakr dan Umar rakyatnya seperti aku, sedangkan dimasaku rakyatnya seperti kamu.”
Manis sekali setiap kultweet yang dirangkum dalam balutan buku ini. Empat ratus kultweet yang menyegarkan setiap pembaca hadir dalam bingkisan yang berbeda. Semoga setiap yang membaca bisa meresapi makna yang indah yang hadir diam-diam melintasi hati ini.